Wednesday, April 17, 2013

Surat Untuk Papa

 

Sudah berbulan-bulan aku tidak menulis. Apa kabarmu papa?
Mereka bilang kau lebih bahagia, aku pun berharap yang sama. 
Jadi, aku mencoba lagi menulis..
Entah bagaimana tiba-tiba hidupku begitu sulit.
Mungkin karena aku menganggap dunia ini terlalu kecil. Ternyata dunia sangat besar di luar sana, dunia akulah yang kecil dan sempit. Sering kali aku melihat lalu-lalang tapi mengapa terasa sepi?    
Lagu di telingaku jadi serba sumbang. Aku seperti sendiri di keramaian. 
   
Papa, andai kau di sini, di sampingku, aku tak akan bercerita banyak. Aku akan mendengarkanmu lebih banyak. Mengamatimu lebih lama. Seperti biasanya saat kau berbicara.
 
Aku merindukanmu wajahmu, Pa. Rambut yang mulai memutih enggan kau semir lagi. Kumis di atas bibir urung kau pangkas. Kacamata baru pengganti kacamata bulat ala john lennon yang sudah menguning. Tiga buah geraham yang sudah tumbang. Sebuah kutil di lutut kiri yang berkali-kali kau buang namun tumbuh lagi.      
 
Aku merindukan kebiasaanmu, Pa. Tak ada barisan nyamuk mati karena kau tepuk. Lalu aku mengamati sepasang selop kulit hanya bertengger di ujung kolam ikan. Bahkan belum ada yang memberi makan ikan-ikan kesayanganmu. Asbak di atas meja jadi asing tanpa rokok putihmu.
 
Aku merindukan suaramu, Pa. Suara tegas yang selalu menasehatiku. Satu-satunya suara yang bisa membuatku terbangun saat aku telat bangun pagi. Suara deham keras karena batuk yang tak kunjung sembuh. Tapi suara tawa yang paling kurindukan, pa. Dan nyanyian Al-Fatihah saat kau mengimamiku.  
 
Aku merindukan pengetahuanmu, pa. Berikan aku sedikit lagi. Agar aku bisa menaklukan duniaku seperti kau taklukan duniamu. Aku berjanji menjadi besar dengan nasehatmu. Aku ingin dihormati seperti orang-orang menghormatimu. Dan mencintaimu seperti kau mencintaiku.  
 
Pa, perjalanan seperti berhenti semenjak hari itu. Aku paksakan waktu untuk berhenti, tapi aku tak mampu. Aku paksakan kembali lagi ke masa lalu, tapi masa terus berlari dan aku ketinggalan di belakangnya. Dan aku terus menangis. Maafkan aku, pa.
 
Pa, kau tak akan tahu betapa teririsnya hatiku. Betapa remuknya perasaanku. Betapa marahnya aku pada aturan hidup, saat sirene ambulan pecah di siang hari, saat kau pulang ke rumah tanpa salam, tanpa berkata, hanya tersenyum. Lalu kau berbaring di ruang tengah, bukan di kamarmu. Baju kerjamu masih membalut tubuhmu. Ya, kemeja krem kesayanganmu dan celana hitam panjang tanpa sepatu.  
 
Aku tak berkata-kata, seperti juga kau. Aku mengamatimu seperti dulu, di sampingmu. Begitu pula mereka. Aku berharap tangisanku membangunkanmu.  
 
Pa, ijinkan lagu terakhir mengalir dalam telingamu sampai ke hatimu. Biarkan aku menyanyikan sebuah lagu untukmu seperti lagu yang kau nyanyikan saat aku baru lahir.
Kau ulurkan tangan kakak untuk belajar bertanggung jawab terhadap adik-adiknya, juga istrimu. Lalu kau berikan kewalianmu padanya saat adikku menikah nanti.
 
Di hadapanku hanya gumpalan tanah. Di sinilah namamu terukir di sebuah batu. Sudah berbulan-bulan semenjak hari itu, aku masih menangis merindukanmu. Aku berjanji, kita pasti bertemu. Pasti kita berkumpul lagi bersama mama, kakak, dan adik. 
 
Aku sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu, pa? Mereka bilang kau lebih bahagia, aku pun berharap begitu. 
 
Tebet, 29 Januari 2012   

No comments:

Post a Comment