Monday, February 28, 2011

Bila si Jeki Mati



Ada suatu masa semua akan berpamitan. Pulang ke tempat dimana surga dan neraka menjadi tujuan. Dan tak ada suatu kekurangan bagi mereka yang sudah menjadi belulang. Permintaan bisa jadi yang paling akhir. Segala susah silakan menyingkir. Demi sebuah mimpi, aku tak kan mangkir. Dari kehidupan kafir.

Jeki memang cuma pengamen pinggiran. Hidup mengandalkan recehan, kadang hanya dari pemberian. Jeki tak menetap. Langkahnya terus berjejak. Pagi berangkat, malam tergeletak. Dimana trotoar dia pun terlelap. Jeki terus menyanyi, walau tiada orang peduli. Kadang sedikit menari hanya terbayar caci dan maki. Hingga hujan turun membasahi jalanan. Sampai terik neraka hinggap di ujung kaki kapalan.

Jeki tetap mengamen. Berharap nanti menjadi pengantin. membatin kelak berdampingan dengan pacar di kampungnya, klaten. Gadis desa bernama Atin, yang sudah dipacarinya setahun kemarin. Atin menunggu Jeki. Walau kadang macan desa sudah baris mengantri. Mengharap dapat istri, sepeti Atin yang doyan mengaji. Gadis lain rupanya iri. Melihat Atin menjadi kembang melati. Tak sebuah terlihat kekurangannya. Kecuali keluarganya yang miskin tak ketara.

Jeki tak sadar melatinya dirundung masalah. Keluarganya yang tak punya harta membuat Atin gerah. Hingga dipaksakan kawin dengan hartawan, yang belum ketahuan simpanannya delapan. Si Jeki kasihan. Berjuang di kota bikin dia mabuk kepalang. Recehan kelak tak ada guna disimpan dalam celengan. Harapan tinggal harapan. Tapi Jeki belum juga tahu cerita sialan yang nanti jadi bumerang. Kasihan si Jeki malang.

Jeki akhirnya pulang. Atin dibayangkan menyambutnya pulang, dengan riang. Berbekal uang receh dalam celengan, pikirannya terus melayang. Pagi itu kampung masih sepi. Hanya kerbau ditengah lumpur terlihat ingin mandi. Kucing kampung berkejar-kejaran untuk puaskan berahi. Lalu di ketukkan pintu rumah Atin sambil berseru, “Atin, ini Jeki”. Beberapa ketukkan tak disahut. Hatinya mulai kalut, sedang tak seorangpun memberi tahu.

Kakek tua yang sering dipanggilnya mbah sedang mengaso di tengah sawah. dan bertanyalah ia, kemana seisi rumah. Mbah menunjuk sebuah rumah dengan sebatang bambu. Sebuah rumah berpagar biru jauh di depan sungai yang sudah keruh. Jeki tidak mengerti. disatroni rumah yang ditunjuk mbah tadi.

“Assalamu’alaikum”, sapanya sambil melirik di antara jeruji pagar. seorang berbaju kumal, keluar membungkuk tanpa sandal.
“Mas cari siapa?”, ia bertanya tanpa membalas sapa.
“Apa Atin ada?” Ia mempersilahkan Jeki masuk dan terduduk di teras depan sendirian.

Tak lama Atin keluar dengan daster bersulam. Wajahnya tersentak kaget Jeki duduk dihadapan. Jeki tak lebih kaget melihat Atin tak seperti yang dikenang. Air matanya menggelinang melihat Atin yang mati dalam pandang. Perutnya telah membesar, Jeki tak dapat berkoar. Ia sadar, Atin telah menusuk hatinya sampai dasar.

Tiada petir yang menyalak di pagi cerah selain di dalam hati Jeki. Hatinya panas sepanas api. Tanpa berkata lagi, Jeki keluar sembari berlari. Tak ingin dilihatnya sakit hati. Sedangkan Atin masih bediri, tak mampu ucapkan sepatah lagi. Atin diam terpaku melihat kekasih lamanya pergi. Beribu maaf, Jeki. Ini tak dapat kuhindari. Aku memang tak patut kau kasihi. Ampun, Jeki.

Jeki bersimpuh di teras Masjid dekat tempat wudhu. Ia tahu jika masuk ke dalam dengan pakaian lusuh orang sekitar akan mengeluh.

Semua aku lakukan dengan tulus. Tiada niat untuk berbelok pada jalan yang lurus. Tiada niat untuk membuat ibadahku pupus. Walau kini badanku sudah menjadi demikian kurus. Tuhan, aku hanya hambamu yang tiada sempurna. Kerjaannya hanya meminta. Karena sebenarnya aku tak punya apa-apa selain hati yang terus mendendam. Sudikah kiranya Kau sulam lubang dendam yang terlanjur kupendam?

Tengah Mei, Jeki berlalu di jalanan lapang. Hanya beberapa mobil berlalu lalang. Sedang warung di pinggir tutup seluas pandang. Hari itu mencekam. Jeki yang malang dengan hati yang masih kelam. Terus berjalan dengan sebuah ingatan. Ingatan di kampung yang membuatnya tak kembali lagi selama tahun berselang.

Kemudian kebisuan menghilang. Dua kubu yang berseberang saling berhadapan. Polisi dan mahasiwa terlibat pertempuran. Yang satu jatuh bergelimpang, lainnya berbaris memegang laras senapan. Jeki yang panik berlari ke segala arah. Gitar yang menemaninya menjadi bulan-bulanan amarah, pecah terbelah. sembilan sampai sepuluh pukulan telah hinggap di pelipisnya hingga keluar darah membanjiri seluruh tubuh. Tak jelas siapa yang menyuruh. Jeki tergeletak di tengah gemuruh. Letusan senjata berkali terdengar runtuh. Setengah sadar ia bangkit , lalu disambar lagi pukulan yang membuat perutnya melilit. Sudah ambruk masih juga kepala di antara sepatu polisi dan aspal dijepit. Jeki berteriak dan menjerit. Sampai tak sadar dan terbangun di rumah sakit.

Seorang perawat menemaninya siang malam, menyadari Jeki hanya anak jalanan tiada uang untuk membayar pengobatan. Senja menjelang Jeki pun siuman, perawat tetap melayaninya tenang. Dibujuknya untuk bicara, sekedar cerita. namun perawat dibuatnya membisu. Tak sebuah kata keluar dari mulut, tak sesendok pun masuk ke perut.

Perawat itu terus menghibur Jeki yang bernasib tragis, siang malam hanya menangis. Kesabaran si perawat belum lagi habis. sampai ketika, Jeki akhirnya membuka mulutnya berbicara. Si perawat senang tiada kepalang. Tak sia-sia ditunggunya sampai siuman dan diajaknya berbincang. Jeki berkisah tentang hidupnya yang serba susah. Belum lagi Atin yang berniat diajaknya nikah. Apa boleh buat, rupanya Tuhan mempunyai suatu niat yang tak bisa Jeki lihat.

Berminggu waktu telah menunggu, cerita Jeki pada si perawat membuatnya termangu. Tak mampu mengingkari bahwa senyatanya ia telah jatuh cinta. Cinta pada Jeki bukan pandangan pertama, bukan pula kedua. Cintanya tersembunyi jauh di hati. Dibiarkannya bersembunyi namun dicegahnya pergi. Jeki yang malang, kesehatannya bertambah malang. Berminggu-minggu ia bertahan, tubuhnya tak mampu melawan.

Sabtu malam, Jeki telah berpulang. Meninggalkan air mataku yang jatuh berlinang. Cintanya telah pergi, dalam waktu yang cepat berlari. Selamat tinggal, Jeki. Kekasih yang tak pernah kumiliki.

Pesan yang kutemukan bukan sembarang. Sebuah kertas bertulis nada sumbang. Kertas itu tak lagi putih, tak lagi bersih. Kutemukan di laci tempat ia terakhir ku pandang. Lalu kubacai dengan hati-hati dan perlahan.

Bila aku mati, aku tak ingin melati.
Tak ingin mawar terlebih kamboja
Dilupa pun tak jadi peduli
Toh Aku ditinggalnya mendurja

Bila aku mati, kubur pula kenangan suri
Tapi jangan harapan yang sisa
Karena boleh jadi akan berarti
Walau kau tak henti mencerca

Bila aku mati, aku tak ingin tangis
Bernyanyilah biar tiada nada
Aku bukan seorang pengemis
Sepotong waktu pun tak ku punya

Apa ubahnya bila aku mati?
Toh matiku tak merubah dunia jadi lain
Bahwasanya hidup tiada abadi
Dan tubuh berselimut seuntai kain

Bila aku mati, cukup adzankan pada telinga
Agar kuat jalanku pada-Nya
Bila aku mati, tak perlu kau beritakan dunia
Bahwa Jeki sudah tiada
Karena sungguh aku bahagia
Kamu tetap disini sampai aku terjaga.

Terima kasih Cinta,
Kau buat derita menjadi tiada rasa
Kau, Sang malaikat penjaga

Selamat tinggal, Cinta
Biar aku hanya punya sedikit waktu
Tiada setitik aku mengeluh
Karenamu, Cinta
Aku pergi dengan bahagia

Bintaro, Ruang TV
10 Maret 2009

Friday, February 25, 2011

Kehilangan



Aku melangkah dengan ragu di trotoar jalan di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini langkahku memang selalu ragu. Aku naiki tangga penyeberangan dengan pikiran yang tak jelas menerawang. Seperti pikiran yang dikendalikan oleh kedua kaki. Mata tak lagi melihat dari bolanya, melainkan bagian luar punggung kaki yang dinamakan mata kaki. Otak tak lagi bekerja dengan baik, sehingga kiasan otak di dengkul boleh jadi tepat diarahkan padaku

Setelah aku kehilangan dia, seperti manusia pada umumnya, aku kehilangan arah. Klise. Sebenarnya arahku sudah jelas, hanya kemana arahnya yang belum aku temukan

Di depanku, seorang laki-laki dewasa berwajah datar sedang mendengarkan lagu dengan sepasang earphone di telinganya. Lagu yang pernah aku tau, diresapi begitu dalam. Ia sedang jatuh cinta. Lalu ia melepaskan earphone-nya dan setengah terpaku melihat gadis berdiri menunggu bus. Dalam hatinya ia menunjuk dan memberanikan diri untuk menegurnya. Sudah beberapa kali usahanya gagal. Tapi sekarang tidak boleh, begitu tekadnya. Aku tersenyum diam-diam.

Bus yang biasa aku tunggu belum datang. Mataku menerawang mengikuti arah pikiranku. Dan jatuh pada seorang bocah pengamen, mungkin umurnya baru 7 tahun, termangu di pinggir halte bus. Dalam pikirannya terus mengarah ke sebuah rumah berdinding triplek. Di dalamnya tidur seorang wanita tua dengan koyo yang menempel pada pinggir kening. Ia menggigil di dalam kain batik tipis. Sementara angin malam yang dingin tak kuasa dilawan menusuk seluruh persendiannya. Si bocah berlalu ke tengah jalan setelah dilihatnya lampu lalu-lintas berwarna merah. Kasihan, anak sekecil itu sudah bertarung dengan masalah yang seharusnya belum waktunya ia dapati diumur sekarang.
Semakin lama halte ini semakin banyak didatangi orang. Perempuan dengan blazer hitam terlihat tersenyum sendiri. Rupanya ia baru saja mendapat kenaikan gaji. Tak sabar untuk membayar dp mobil, sehingga ia tak harus bersusah mengantre bus. Lain lagi dengan pria disebelahnya. Pikirannya sudah mengarah ke sebuah kamar. Membayangkan tubuhnya berbaring setengah mati di atasnya. Ada juga perempuan muda berseragam SMU. Dalam perutnya terdapat sebuah nyawa. Jantungnya berdegup dalam tempo yang tak tentu. Pacarnya memang rela untuk bertanggung jawab, namun ia terlalu takut untuk berterus terang dengan ayahnya.

Ah, ada-ada saja masalah yang mereka hadapi. Masing-masing memang mempunyai porsi yang beragam. Tuhan memberikan sesuai kemampuan mereka. Sebelum diberi anugerah atau cobaan, Tuhan sudah menentukan dimana cerita itu berakhir. Beruntungnya laki-laki yang sedang jatuh cinta itu. Cintanya bersambut. Tapi tak begitu baik untuk lelaki di sebelahnya. Kakak iparnya yang bawel menyuruhnya membeli air galon yang sudah habis. Niatnya untuk cepat terlelap tertunda. Begitu juga dengan bocah pengamen. Sepulangnya nanti, ibunya sudah tak bernyawa. Berbeda pula dengan wanita itu. Sesampainya di rumah, mobil idamannya sudah terparkir di garasi rumahnya. Dengan erat ia peluk ayahnya yang sudah menunggu di teras. Sementara perempuan muda tak mesti khawatir lagi dengan ayahnya. Nyawa di perutnya dimatikan dengan paksa sesuai persetujuan pacarnya. Ia mengubur rahasia bersama janin di kebun kosong.
Lalu bus yang kutunggu akhirnya berhenti tepat dihadapanku. Beberapa orang bergantian naik dan turun. Salah satunya dengan tergesa, seorang wanita. Rambutnya melayang-layang mengikuti arah ia berlari. Aku ikuti dia sampai ke sebuah ruangan rumah sakit di belakang halte. Pikirannya nyaris sama dengan punyaku. Menerawang tak jelas, hanya mengikuti gerakan kedua kakinya. Nafasnya masih memburu saat menyebutkan sebuah nama pada suster jaga. Ia ditemani suster memasuki ruangan itu. Beberapa orang di dalam terlihat sudah menantinya. Wajah-wajah kesedihan. Pasangan mata yang bengkak. Pipi yang basah oleh air mata. Hidung yang memerah. Dan nafas yang terisak-isak.

Langkah perempuan itu semakin cepat. Sebutan Tuhan berkali-kali ia teriakan dalam hati. Terhenti juga ia di dalam kamar. Tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya berhenti sesaat. Air mulai menggenangi bagian kelopak bawah matanya. Sesaat tumpah bergantian jatuh ke pipinya, ke tangannya, ke lantai, ke seprai tempat tidur, dan ke wajah seseorang pria di balik selimut. Pikirannya tak lagi menerawang, tapi kembali lagi ke masa yang telah dilaluinya. Masa dimana ia merasakan cinta bersama pria itu. Lalu menyesal. Ia teriakan sebuah nama di telinga pria itu. Ia diam tak bergeming. Selamanya ia tak akan bangun, kataku dalam hati. Sang perempuan tak berhenti memanggil namanya. Nama yang sangat tidak asing di telingaku. Sebuah nama kecil yang biasa ibuku gunakan untuk memanggilku.

Jakarta, Transbintaro (Ratu plaza - Bintaro)
14 Februari 2011