Monday, April 4, 2011

Surat untuk Kawan



Suatu sore di bawah jendela, aku bermimpi melawan untuk mengalah menjadi sapi perah. Tertawa di pinggiran jalan arteri, bercerita tentang langit yang tak kunjung pulang. Lalu mengabadikannya sebelum matahari terlanjur padam.

Kawan,
Kita tertawa lagi saat menantikan malam jadi pagi. Berbagi segelas kopi, berbagi mimpi. Termegap-megap mendengar seruan cerita pagi. Dan setiap teguk obat kantuk membuat esok terasa sedikit lebih lama. Hingga letupan jantung berpacu dengan putaran gradasi hari.

Kita tertawa lagi di pinggiran jalan arteri, di sore yang lain. Bergurau untuk mengendalikan kejamnya ibukota. Membungkamnya dengan tinta pada jemari. Memecutnya dengan kilatan lampu kamera. Memukulnya dengan sebatang not balok minor. Hingga tersungkur di bawah pohon angsana. Bercita merajai ibukota, kelak melumpuhkan negara

Aku merindukan kita tertawa lagi. Bermimpi menjadi penjajah para munafik. Algojo para pencuri laknat. Pemeras para mafia keparat. Dan pembunuh para pengkhianat. Sampai pelosok negeri berbisik tentang kita, "hati-hati, penjahat para pejabat"

Kawan,
Aku duduk lagi di pinggiran jalan arteri. Melihat pancuran meliuk-liuk disorot lampu. Mencoba meraih sepasang muda berdiri kaku di gerbang penyambutan. Mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan, sementara semua sibuk berlalu-lalang.

Kawan,
Aku tertawa lagi menunggumu datang, atau membuatku pulang.
Kawan, mari kita tertawa lagi

Bintaro, Ruang TV
3 April 2011