Thursday, August 18, 2011

Surat untuk Eyang



Eyang, pada masa itu, aku ingat kau bawa ayahku bersepeda menyusuri jakarta. Kau wariskan doktrin perjuangan padanya. Bahwa bangsa kita adalah besar. Di bawah langit jakarta kau bercerita, ia mendengar. Tentang idolamu yang bicara lantang di barisan orang-orang terbelakang. Tentang guratan kuas pada tembok perjuangan. Tentang bambu yang termasyur sejagat raya yang mampu patahkan senapan. Tentang gerilya yang terampuh seantero dunia. Tentang harga mati sepetak tanah merdeka. Tentang mereka yang menukar kematian dengan kebebasan.

Eyang, di masa apa aku hidup? Doktrin perjuanganmu menjadi stigma. Ini bukan salahmu, Eyang, atau rekan-rekanmu, atau pula pemimpinmu yang dituduh berkhianat, atau tidak.

Eyang, biarkan aku bercerita sedikit. Agar kau tau bahwa dunia tak sempit. Agar kau bisa katakan di masa apa aku hidup.

Aku hidup di masa kebenaran sulit didapatkan. Aku mengidolakan idolaku bicara lantang, tapi ia cuma bisa prihatin di barisan orang-orang penting. Aku melihat dengan sepasang mata sendiri, tembok kebesaranmu hancur ditiban pelajar tak terpelajar.
Lalu bambu-bambumu yang begitu runcing melayang kesana-kemari, diantara pelajar yang kurang diajar. Sedangkan senapan telah patahkan nilai kebaikan. Tapi gerilyamu tidak mati. Oh, tentu saja tidak, Eyang.. Aku masih melihat gerilya di gedung senayan untuk saling tikam sesama pengecut. 
Aku menggeram, saat tau tanah merdekamu membuat orang-orang mati karena rebutan dan gusuran, cuma karena satu kata yang berarti dua surat : sengketa. Dan lagi-lagi aku membatin, saat kebebasan dibayar mati-matian. Sehingga tikus-tikus rakus tak perlu gusah dengan keadilan.

Eyang, di masa apa aku hidup?

Orang-orang terbangun karena suara ayam menjadi alarm. Karena suara ayam berkokok kalah oleh raungan mesin-mesin keparat. Kicauan burung gereja sumbang karena klakson mobil. Wangi melati pun sangit karena knalpot angkutan.

Aku menangis, Eyang. Demi perjuanganmu, aku menangis. Menangisi perjuanganmu. Tapi jangan, Eyang, jangan jadi tak tenang tidurmu. Biarlah kau tau, bahwa bangsa kita adalah besar pada masa hidupmu. Biar kami-kami yang tanggung. Biar kami merdekakan lagi bangsa ini dari penjajah. Seperti yang idolamu katakan, "kami sudah melawan penjajah, tapi tugas kalian lebih berat. Karena kalian akan melawan bangsa sendiri".

Di masa kemerdekaan cuma jadi kata-kata, Eyang, tolong jelaskan di masa apa aku hidup?


Kantor, Wisma Nusantara
18 Agustus 2011