Thursday, August 18, 2011

Surat untuk Eyang



Eyang, pada masa itu, aku ingat kau bawa ayahku bersepeda menyusuri jakarta. Kau wariskan doktrin perjuangan padanya. Bahwa bangsa kita adalah besar. Di bawah langit jakarta kau bercerita, ia mendengar. Tentang idolamu yang bicara lantang di barisan orang-orang terbelakang. Tentang guratan kuas pada tembok perjuangan. Tentang bambu yang termasyur sejagat raya yang mampu patahkan senapan. Tentang gerilya yang terampuh seantero dunia. Tentang harga mati sepetak tanah merdeka. Tentang mereka yang menukar kematian dengan kebebasan.

Eyang, di masa apa aku hidup? Doktrin perjuanganmu menjadi stigma. Ini bukan salahmu, Eyang, atau rekan-rekanmu, atau pula pemimpinmu yang dituduh berkhianat, atau tidak.

Eyang, biarkan aku bercerita sedikit. Agar kau tau bahwa dunia tak sempit. Agar kau bisa katakan di masa apa aku hidup.

Aku hidup di masa kebenaran sulit didapatkan. Aku mengidolakan idolaku bicara lantang, tapi ia cuma bisa prihatin di barisan orang-orang penting. Aku melihat dengan sepasang mata sendiri, tembok kebesaranmu hancur ditiban pelajar tak terpelajar.
Lalu bambu-bambumu yang begitu runcing melayang kesana-kemari, diantara pelajar yang kurang diajar. Sedangkan senapan telah patahkan nilai kebaikan. Tapi gerilyamu tidak mati. Oh, tentu saja tidak, Eyang.. Aku masih melihat gerilya di gedung senayan untuk saling tikam sesama pengecut. 
Aku menggeram, saat tau tanah merdekamu membuat orang-orang mati karena rebutan dan gusuran, cuma karena satu kata yang berarti dua surat : sengketa. Dan lagi-lagi aku membatin, saat kebebasan dibayar mati-matian. Sehingga tikus-tikus rakus tak perlu gusah dengan keadilan.

Eyang, di masa apa aku hidup?

Orang-orang terbangun karena suara ayam menjadi alarm. Karena suara ayam berkokok kalah oleh raungan mesin-mesin keparat. Kicauan burung gereja sumbang karena klakson mobil. Wangi melati pun sangit karena knalpot angkutan.

Aku menangis, Eyang. Demi perjuanganmu, aku menangis. Menangisi perjuanganmu. Tapi jangan, Eyang, jangan jadi tak tenang tidurmu. Biarlah kau tau, bahwa bangsa kita adalah besar pada masa hidupmu. Biar kami-kami yang tanggung. Biar kami merdekakan lagi bangsa ini dari penjajah. Seperti yang idolamu katakan, "kami sudah melawan penjajah, tapi tugas kalian lebih berat. Karena kalian akan melawan bangsa sendiri".

Di masa kemerdekaan cuma jadi kata-kata, Eyang, tolong jelaskan di masa apa aku hidup?


Kantor, Wisma Nusantara
18 Agustus 2011


Wednesday, July 20, 2011

Peron Satu



Semalaman di peron satu, kala kereta lelap dari peradaban. Besi-besi alas kaki bertahan hidup dalam selimut embun yang tak mampu menjadikannya karat. Mesin tua membisu tanpa terpal, begitu juga anak gerbongnya. Menunggu dicambuk oleh kilat buatan manusia. Digempur waktu. Melupakan sejenak riuh kaki mereka yang ke sana ke mari, naik turun, di peron satu.

Di loket tiga, tak ada bernyawa kecuali serangga. Mushola satu-satunya tempat masinis bernyawa tergolek dalam putaran mimpi.

Di pinggiran peron, Sang bocah terlentang tanpa alas. Tangannya membentang membuat siku pada ketiak. Bergumam sesekali. Dan dua. Dan lelap lagi. Sehelai bulu menyelimuti tubuh tapi cepat ditiup angin. Mengigil lagi. Ke arah langit pekat aku tanyakan: Kenapa, Tuhan? Ia tak menjawab.
Biarlah untuk sementara waktu, terlelap sebelum digusah masinis yang bangun kepagian.

Semalaman di peron satu, diselimuti hawa Jakarta. Dinaungi sisa asap tadi malam yang kalah dihisap pohon angsana. Langit belum juga menyala. Aku terjaga lama, menantinya berubah jadi jingga. Dan aku tertawa meregang nyawa. Menantang bocah agar tak jadi tua. Menantangnya jangan jadi tua! Tapi ia menolak. Menjadi tua adalah anugerah, ujarnya.

Aku coba tanyakan lagi dalam tunduk: Kenapa, Tuhan? Sang Bocah yang menjawab. Berceracau tak karuan. Tertawa tanpa suara. Mencibir seperti bibir bulan atas bintang-bintangnya. Demi langit, melelehkan embun dengan gemeritik gigi susu. Sang bocah berceracau tak karuan.

Menjadi dewasa berarti punya kuasa. Biar harus mencomot mangsa jadi tak bernyawa. Minimal sedikit gila. Tapi tidak gila, hanya ingin kuasa. Menjadi yang paling dikenang dunia. Tapi dalam dekade, tanpa sadar terjebak di antara tikus yang jelalatan adalah pilihannya sendiri. Lalu menjadi rajanya di kemudian hari. Raja para binatang, pemenang dunianya. Sang bocah berhenti bercanda. Lalu berhenti tertawa. Lalu berhenti menyapa. Lalu berhenti bernyawa.

Semalaman di peron satu, membuat hatiku terbelalak oleh kuasa Tuhan. Sang bocah sudah tak bernafas. Sebelum terang aku kembali lagi.
Tuhan, Engkau memang Maha Tahu. Itulah kenapa aku rela bersujud pada mereka yang lebih tamak dari binatang dan lebih suci dari kami. Sungguh aku bersujud pada-Mu.

Kepakan sayapku membawanya ketempat yang lebih baik dari yang mereka sebut surga sementara, Dunia. Padahal mereka belum paham seperti apa surga.

Bintaro, Ruang TV
18 Mei 2011

Monday, April 4, 2011

Surat untuk Kawan



Suatu sore di bawah jendela, aku bermimpi melawan untuk mengalah menjadi sapi perah. Tertawa di pinggiran jalan arteri, bercerita tentang langit yang tak kunjung pulang. Lalu mengabadikannya sebelum matahari terlanjur padam.

Kawan,
Kita tertawa lagi saat menantikan malam jadi pagi. Berbagi segelas kopi, berbagi mimpi. Termegap-megap mendengar seruan cerita pagi. Dan setiap teguk obat kantuk membuat esok terasa sedikit lebih lama. Hingga letupan jantung berpacu dengan putaran gradasi hari.

Kita tertawa lagi di pinggiran jalan arteri, di sore yang lain. Bergurau untuk mengendalikan kejamnya ibukota. Membungkamnya dengan tinta pada jemari. Memecutnya dengan kilatan lampu kamera. Memukulnya dengan sebatang not balok minor. Hingga tersungkur di bawah pohon angsana. Bercita merajai ibukota, kelak melumpuhkan negara

Aku merindukan kita tertawa lagi. Bermimpi menjadi penjajah para munafik. Algojo para pencuri laknat. Pemeras para mafia keparat. Dan pembunuh para pengkhianat. Sampai pelosok negeri berbisik tentang kita, "hati-hati, penjahat para pejabat"

Kawan,
Aku duduk lagi di pinggiran jalan arteri. Melihat pancuran meliuk-liuk disorot lampu. Mencoba meraih sepasang muda berdiri kaku di gerbang penyambutan. Mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan, sementara semua sibuk berlalu-lalang.

Kawan,
Aku tertawa lagi menunggumu datang, atau membuatku pulang.
Kawan, mari kita tertawa lagi

Bintaro, Ruang TV
3 April 2011

Wednesday, March 16, 2011

Secangkir Kopi Dingin

 
Secangkir kopi panas yang sudah jadi dingin masih terhidang kaku di hadapanku. Baru kusadari, sudah cangkir ketiga saat pelayan mengangkat cangkir kedua. Coffee latte menggenang pada setengah cangkir, dengan foam susu menempel pada dindingnya. Belum siap lidah mengecapnya lagi. Aku hanya memperhatikan. Aku tahu pelayan-pelayan itu jg memperhatikanku,karena hanya aku wanita satu-satunya diantara kursi kosong di beranda kafe. Sudah pukul sebelas hampir setengah malam. Kafe sudah sepi dari setengah jam sebelumnya,tapi aku belum berniat untuk beranjak. Pengunjung tak banyak berlalu-lalang,karena pagi-pagi besok mereka harus berangkat kerja.
Sekali lagi, angkat tanganku untuk memesan secangkir lagi. Tak lama datang sebuah lagi menemani cangkirku. Menemani lamunan malamku di bawah langit di jalan sudirman. Tak bergeming. Perlahan membawaku kembali tersenyum untuk mengingatkan sesuatu.

Di bawah langit malam,di pinggiran jalan sudirman,dia sudah menungguku datang. Seperti biasa, sebuah cangkir kopi dan segelas teh panas berjejer di meja.

"Maaf,aku telat" dia tidak menjawab,hanya tersenyum. Lalu menyeruput kopi panasnya yang sudah dingin. Pasti sudah lama dia menungguku, kopinya masih penuh dan tak mungkin diseruputnya karena aku paham, dia tak suka kopi panas. Sedangkan aku lebih suka teh panas.
"Sebulan lagi aku berangkat" bisiknya sambil mengusap bibir atasnya dari foam susu dengan tissue.

Oh tuhan,sebulan akan terasa begitu cepat.aku belum siap jauh darinya. Apalagi setengah tahun dari sekarang aku harus mempersiapkan hari besar kita. Tapi aku tahu, dia harus pergi biar sebentar.

Aku pura-pura tidak tertarik,lalu ku buat dia larut dalam pembicaraan lain. sama seperti malam-malam yang lain,kami menikmati saat seperti ini. Menghabiskan separuh malam hanya berbicara. Tentunya dengan beberapa gelas teh panas dan kopi panas yang sudah dingin.

Benar saja,sebulan berlalu cepat. Dia sudah begitu saja pergi. Dan aku sudah melihat malam begitu lambat dari jendela kamar. Diteras depan, gelas teh panas tak lagi ditemani kopi dingin. Sehingga teh dalam gelas juga mendingin. Sudah lama aku tak melihatnya,bayangan pun tidak. Lalu hanya suara langkahku sendiri yang bisa kudengar. Oh tuhan,aku merindukan dia..

Di bawah langit malam,di pinggiran jalan sudirman, aku duduk di sini. Sendirian. Sepasang kopi dingin menemaniku, teh panas tak lagi menemaninya. Aku seruput sedikit-sedikit sampai dasar cangkirnya terlihat. Pelayan-pelayan itu masih diam-diam memperhatikan aku.
Aku menangis. Entah dari mana asal air mataku jatuh. Terus mengalir melewati tulang pipi sampai dagu. Lalu jatuh memalu,meninggalkan bulatan,merembes pada rok kerjaku. Satu..dua..dan terus menetes hingga aku merasakan pahaku dingin. Dan sekujur badanku ikut-ikutan dingin. Aku, si perempuan tegar di mata mereka ternyata tak lebih kuat dari kelihatannya. Rasanya ingin ku banting cangkir-cangkir ini sampai pecah tak karuan. Ingin aku meraung-raung, berteriak sampai tipis pita suaraku.
Aku helakan nafas yang tak beraturan. Tak aku habiskan kopi yang sudah dingin sampai seperempat cangkir.

Lampu kafe sudah diredup,hanya lampu jalanan yang menjaga malam sedikit terang. Sudah begitu larut. Namun sebuah suara sms menundaku untuk beranjak. Aku buka folder inbox. sahabatku lagi-lagi mengirimkan pesan yang kesekian kali.
"Jangan terlalu larut ya sayang,ikhlaskan dia. Supaya tenang di sisiNya"
Ku tutup kelopak mataku untuk menghentikan aliran air dari dalam kantung mata. Sekejap, air mataku berhenti mengalir. Tanpa merapikan bedak yang terlanjur luntur, aku pulang.

Oh Tuhan,tolong sampaikan padanya. Sementara waktu, aku akan di sini sendiri. Entah sampai kapan,aku harap selamanya. Tapi hati dan pikiranku yang memanas akan kubiarkan menjadi dingin, seperti kopi kesukaannya.

Bintaro, Kamar

13 November 2010

Monday, March 7, 2011

Kacamata Item



Suatu sore,
Teman: kenapa lu pake kacamata item terus sih?
Aku: emang kenapa?
Teman: ya..aneh aja.ini kan di mall.risih kali.tuh diliatin orang terus.
Aku: yaudah ga usah diliatin.cuek aja.
Teman: ya,enggak. Gue kan ikutan risih.
Aku: lho?yang diliatin kan gue,kenapa lu yang risih?
Teman: yaelah
Aku: biarin aja kali
Teman: ya gw malu kalee..

Sambil berjalan aku ditinggalnya. Oh,bukan begitu tepatnya.aku berhenti melangkah,sedangkan dia melenggang sendirian. Aku membuat diriku ditinggal,begitu tepatnya.

Aku (dalam hati): apa yg salah dengan kacamata hitamku?bukannya bagus?apa karena aku beli dipinggir jalan?atau karena ia jg suka tapi tak bs menawarnya pada bapak penjual kacamata tadi pagi?

Lalu aku pulang sendiri dengan sisa uang kembalian kacamata di kantong celanaku. Naik bis. Dan aku masih berkaca mata hitam.

Suatu sore (selang beberapa hari),
Sobat: abis ini mau kemana?
Sahabat: ah, gue cape mau pulang aja.lo masih mau jalan?
Aku: yah jangan pulang dulu deh.gue males pulang.
Sobat: iya nih,gue juga males sih.lu mau balik?
Aku (dengan terpaksa): yaudah gue disini dulu aja deh.tapi tungguin dulu ya,gue mau ke wc dulu.
Sahabat: yaelah,lo dari tadi ke wc mulu.kacamata miring dikit benerinnya di wc.
Sobat menyenggol kaki sahabat dengan kakinya.aku melihatnya! Tapi pura2 tak melihat.
Sobat (mengalihkan): lu kebanyakan ngopi sih.
Aku (bingung): he-eh, hehe

Dari kamar mandi,
Sobat (berbisik): abis gue males,bat.
Sahabat (juga berbisik): iya gue jg males sih,sob.tapi ga usah tudepoin gt kali.
Sobat (masih berbisik): gmn ga males,bat.masa di kafe kacamata iteman?
Sahabat (masih juga berbisik): iya hihi norak banget sih.gue juga malu sob,dia diliatin terus sama orang2.makanya tadi gue jalan agak jauh dari dia.untung dia jalannya deket lu,jadi nggak keliatan banget lah kalo dia lagi bareng gue.
Sobat: pantesan lu kaya agak ngindar gitu.sialan lu,gue jadi martir!
Sahabat: hehe sorry deh.abis malu banget gue.
Sobat: emang lu kira gue enggak?
Sahabat: hehe sorry deh
Sobat: oia kemaren aja si teman cerita ke gue,awalnya...
Sahabat (memotong): ...sob,jangan kenceng2!
Sobat (berbisik): awalnya gue nggak percaya,eh ternyata beneran,bat Aku (mata berair): ehm..
Sobat (tersentak): eh..ehm..udah ke wc nya?
Sahabat (juga tersentak): eh..gue,eh...ehm kita jalan dulu ya Sobat (canggung): lu nggak papa kan sendirian
Aku: gapapa
Sahabat (juga canggung): yaudah,ati2 ya Sobat&Sahabat (berbarengan): bye...

Sekarang aku benar ditinggal.aku menangis. Untungnya tertutup kacamata hitamku. Berguna juga rupanya.

Kawan (mengagetkan): Door!!
Aku(kaget setengah mati): eh, copot..copot..bapak lu copot!!
Kawan:haha..lho?kenapa nangis?
Aku (dalam hati): emang tau dari mana aku nangis?
Aku: emang tau dari mana gue nangis?
Kawan: yee,jelas jelas idung lo merah.lap dulu tuh.ingusnya dah ngegantung tuh.iihh...
Aku (muka memerah): eh, iya ya...
Kawan: kok lu sendirian?
Aku: ehm...tadi ada sobat sama sahabat kok
Kawan: teman nggak ikut?
Aku: nggak,dia nggak jadi dateng.
Kawan (keheranan): pada kemana?
Aku: dah pada pulang
Kawan: lha?lu kok masih disini?
Aku: iya gue males pulang.kok lu tau gue disini?kan tempat duduknya jauh dari penglihatan orang.
Kawan: ya tau lah, kawan gue yang berkaca mata hitam keren kan cuma lu.hehe.oia,lu dah makan?
Aku (dengan perut yg keroncongan): eh,ehm..udah,udah kenyang gue.
Kawan: yah,gue laper bgt nih.temenin gue mau ga?
Aku (setengah heran): gue?nemenin lu?
Kawan: ya iya lah,masa mas-mas pelayannya.atau emang lu pelayan disini?kalo iya,gue nggak bermaksud ganggu lu kerja.hehe

Akhirnya aku temani kawan mencari makan.

Hampir larut, di restoran,
Kawan: ini mah gue yg nemenin lu.lu makannya banyak banget!katanya dah makan?
Aku (tersipu): iya,hehe,laper...
Kawan: biasa makan orok kali lu ya.

Sudah larut, di kafe, di lain tempat,
Kawan: besok masih libur?
Aku: iya.kan besok minggu.
Kawan: oiya yah.besok mau kemana?
Aku: paling dirumah.
Kawan: enggak jalan sama teman, sama sobat,sama sahabat?
Aku: ah,enggak.mereka paling nonton.gue lagi males nonton.
Kawan: yaudah besok temenin gue ya. Ada kawan gue manggung.
Aku: hah?manggung?gue?
Kawan: yaiyalah elu.gimana sih!
Aku: ehm,emang dimana?
Kawan: ada acara di kemang.deket sini kok.yang ngadain stonedcollege.kawan gue maen,namanya karnatra.
Aku: oh gue tau tuh.
Kawan: yaudah,kan lu tau
Aku: ah,enggak enak.
Kawan: nggak enak begimana?
Aku: gue kan nggak kenal sama mereka.
Kawan (memaksa): ya kenalan lah.mau yah..yah..
Aku: lu emang nggak malu ngenalin gue?
Kawan (heran): malu?kenapa malu?
Aku: ah,ehm..nggak,gue kan kemana2 pake kacamata item.sekarang dah malem aja masih gue pake.
Kawan: lha,emang apa yg salah sama kacamata lu?kalo ga ada yg salah peduli amat.mungkin lu abis operasi lasik,mungkin lu buta,mungkin lu bintitan, orang2 mah ga pada tau kan kenapa lu pake kacamata item.mungkin aneh kemana-mana pake kacamata item.trus kalopun aneh emang kenapa?kalo misalnya pada tau lu abis lasik, ga bakal jadi aneh kan?udah cuek aja.besok ya gue tunggu disini.
Aku: eh..tapi...
Kawan: ..udah nggak usah pake tapi-tapian.oke?dah malem nih, mau pulang bareng nggak?
Aku: oh,lu duluan aja deh.
Kawan: lu engga papa sendirian?
Aku: nggak papa kok
Kawan: yaudah,jangan lupa besok rada sorean ya.
Aku: iya.
Kawan: ok.ati2 ya.bye!
Aku: bye!

Sudah sangat larut, masih di kafe,
Aku (dalam hati): andai saja semua seperti kawan.tak peduli bagaimana jelekku,dia tetep disamping.bisa saja aku buka kacamata ini.memang kelihatan norak.tapi kenapa harus ikuti kata-kata mereka.inilah aku!aku mau mereka terima aku seperti apa adanya.apa jadinya kalau ada borok di mukaku.mungkin aku tak punya siapa2 lagi. Tapi kawan selalu ada saat aku jelek,norak,atau kampungan, bukan saat aku keren,gaul,atau kekotaan.

aku pulang sendiri dengan langkah yang lebih ringan.kutinggalkan kacamata hitam di pinggir trotoar.mungkin ada si buta yang membutuhkan.
Aku (tertawa dalam hati):haha sekarang aku punya seorang,besok lebih banyak kawan.

Kantor, Bintaro
12 Desember 2009

Note : Thanks buat temen2
Dari Kiri ke kanan, atas kebawah :
Echy, Ika, Novi, Ginta, Mica,
Nia, Dicky, Irfan, Jaka, Leony,
Yeti, Teguh, Febri, Dina,
Vera, David, Kun-kun, Erma,
Nyit-nyit, Gene, Ipul, Budi, Wanti,
Putri, Diah, Ria, Titin, Mia

Sepotong





Arshi. Nama yang bagus namun cukup aneh. Sama anehnya dengan pikiranku. Cerita ini terasa sangat singkat untuk disadari tapi cukup lama pula untuk dilupakan. Cerita klasik yang dimulai dari sebuah persimpangan jalan di ujung sebuah rumah kecil berpagar bambu. Rerumputan liar bertebaran di halaman depannya. Sepasang kursi dari rotan bersandar di tembok kecokelatan berteman dengan meja panjang yang menghiasi sudut sempit terasnya. Rumah yang sangat sederhana tapi nyaman. Ya, itulah rumahku.

Seperti biasa, aku berangkat kerja dengan sepasang earphone yang menyempil di kedua telingaku tanpa memperhatikan sekeliling. Pagi itu aku menunggu sebuah angkot putih yang sudah seperti supir pribadiku. Mulai dari orang batak sampai orang sunda aku hafal betul semuanya. Sudah sekitar 15 menit berlalu tanpa satupun yang melintas dihadapanku. Lagu Linkin Park, Leave Out All The Rest, telah ku ulang berkali-kali. Lagu ini mengingatkanku pada seorang sahabat. Ia tahu betul bahwa ajalnya semakin dekat namun semakin kuat pula ia berjuang. Entah dimana dia, aku mulai rindu dengan ceritanya.
Seorang perempuan yang sedari tadi tak kusadari menepuk pundakku sambil berkata sesuatu. Entah apa yang keluar dari mulutnya. Aku mencopot earphone dari telingaku. Ia berkata lagi, "Emang kamu engga tau, angkot demo hari ini", seraya tersenyum.
Gadis ini sebenarnya sering aku lihat.

"Tumben jam segini udah berangkat?",
”Iya, ngejar setoran nih"
"Arshi", ia menjulurkan tangannya.

Arshi nama yang tak pernah kudengar sedalam memoriku mengenal orang, pikirku. Kata orang, nama bisa jadi mencerminkan pribadi seseorang. Walaupun kenyataannya banyak penjahat memiliki nama di KTP-nya sama dengan nama seorang Nabi. Mungkin Arshi perempuan yang unik. Raut wajahnya menunjukkan padaku seorang perempuan yang masih duduk di bangku kuliah. Semoga saja ia tak begitu mengenalku. Sebenarnya aku sudah mengenalnya lama tapi baru kali ini aku tahu namanya. Ia seorang supervisor toko buku di depan kantorku. Hampir setiap jam makan siang aku selalu mampir untuk membaca, walaupun tak banyak yang aku beli. Namun sudah beberapa bulan ini aku tak sempat lagi ke sana padahal toko bukunya banyak menolongku pada saat kuliah dulu, bahkan tanpa buku-buku yang ku beli disana mungkin aku masih menganggur di rumah.

Setelah beberapa puluh menit, aku dan Arshi berjalan berbarengan sampai aku berhenti di hadapan gedung kantorku dan ia menyeberang menuju tempat kerjanya. Tak banyak kata yang keluar dari mulutku, sehingga suara motor bising lebih mendominasi percakapan kita. padahal banyak pertanyaan-pertanyaan yang sering kali muncul di hati tapi tak berhasil menjadi suara.

Akhirnya aku bisa duduk juga. Komputer dihadapanku belum kunyalakan. Secarik kertas menempel di monitornya. Mba Siska memberitahuku bahwa ada yang mencariku tapi tidak meninggalkan namanya. Ia terlihat rapi sekali hari ini. Mungkin Pak Agis, satu-satunya bos paling necis di kantor, mengajaknya rapat dengan klien. Jika aku menghadap ke ruangannya, wangi parfum langsung menempel sampai aku keluar ruangannya. Sampai jam makan siang aku masih berkutat di depan komputer. Ruangan di sini sudah mulai sepi. Seperti halnya sekolah pada saat jam istirahat, hanya beberapa orang yang sibuk membicarakan gosip artis terkini. Mataku mulai lelah. Tiba-tiba aku teringat gadis itu. Lalu aku pergi ke toko bukunya, lagi pula sudah lama aku tak berkunjung.

Suasananya masih seperti dulu. Bahkan wanginya pun seakan tak asing di hidungku. Siang ini ia tampak lebih sibuk dengan kasir barunya sedang aku sibuk memperhatikannya dari jauh. Sudah lama aku tak melakukan ini. Dulu, beberapa kali aku datang kesini hanya untuk melihatnya. Dari jauh senyumnya sangat manis. Masih seperti dulu.

Tak lama ia menyadari kehadiranku, ia berjalan menghampiri. Pertanyaan yang harusnya sudah keluar diperjalanan tadi akhirnya di mentahkan juga lewat mulutnya. Sudah lama ia tak melihatku di sini. Jawaban apa lagi yang sanggup memenuhi tanpa menghasilkan percakapan dua arah lagi selain sedang sibuk dikejar deadline. Aku bingung harus berkata apa, bukan tidak nyaman tapi takut salah bicara. Setelah memilih beribu pertanyaan di pikiran aku memilih satu dari yang terbaik, "Ehm..nanti pulang jam berapa?"
Ah, pertanyaan basi!
"Biasa kok", aku mengajaknya untuk pulang bareng.
"Jadi kamu ke sini mau ngajak pulang doang?"
"Oh, yaudah kalo mau minta nomer telpon kamu boleh?", aku tersenyum.
Semenjak kunjungan itu, aku dan Arshi sering berangkat dan pulang bersama. Ia cukup menyenangkan. Mudah sekali untuk membuatnya tersenyum. Aku baru tahu ia masih kuliah, bayangkan saja gadis semuda itu sudah menjadi supervisor. Luar biasa menurutku.

Suatu saat aku memberanikan diri mengajaknya makan malam. Malam itu ia sangat cantik. Begitu cantiknya sampai aku terus ingin berada di dekatnya. Sabit yang tepat mengintai di atas serasa dekat dengannya. Belum juga aku mengatakan sesuatu padanya, seorang perempuan menghampiri meja kami sambil tersenyum memanggil namaku. Tak mungkin untuk tidak mengenalinya walau wajahnya sudah banyak berubah. Badannya jauh lebih kurus. Wajahnya agak pucat dalam cahaya lampu. Aku tersentak kaget. Bagaimana mungkin perempuan ini datang lagi setelah sekian lama pergi dari hidupku secara tiba-tiba. Aku mengenalkannya pada Arshi. Dia pernah menjadi pacarku untuk sesaat, entah kenapa suatu hari ia menghilang. Sekarang ia berbicara padaku seolah-olah keadaan masih seperti dulu. Memang membutuhkan waktu yang lama untuk melupakannya.

Dia sering ke kantorku tapi aku tak pernah di tempat. Terang saja, akhir-akhir ini setiap jam makan siang aku selalu ke seberang menghabiskan waktu bersama Arshi. Dari membahas buku, film atau apalah yang menurutku sangat menarik. Rupanya pesan-pesan itu darinya. Dia tidak pernah memberitahu namanya kepada Mba Siska. Aku hanya mengangguk kecil berharap ia cepat pergi dari hadapanku.

"Ya udah, maaf ya kalau ganggu makan malamnya. Nice to know you, Arshi", doaku cepat terjawab. "Oiya, salam buat Cakra ya…", Aku ingin memberitahunya tapi ia segera berlalu begitu saja.
"Oh iya, aku lihat kamu ngga pernah bareng teman kamu lagi?", tanyanya memecah bisu. "yang sering menemani kamu ke toko buku dulu". Aku terdiam. Cakra yang ia tanyakan.

Aku menceritakan padanya mengenai Cakra, seorang sahabat. Hampir setahun kulalui hari tanpanya. Hidupnya memberikan sebuah arti bagi orang lain. Sejak ia pergi, aku tak mampu lagi tertawa lepas. Bahkan skripsiku terbengkalai.

"Namanya Cakra. Dia sudah meninggal", Aku mulai bercerita banyak tentang Cakra. Bagaimana ia berjuang diujung nafasnya. Bagaimana ia menyakinkanku bahwa dirinya tak pernah takut untuk pergi. Tekadnya sangat kuat hingga tertulis di buku-buku yang ia simpan untukku dan untuk seorang yang ia sayangi. Cakra tipikal orang yang keras namun senang sekali mengeluh, tapi tidak ke orang lain. Tepat seminggu sebelum ia pergi aku menemaninya berjalan menyusuri rumah sakit. Aku tak begitu mengerti maksudnya namun yang jelas perkataannya membuatku takut. Ia berjalan sambil kutenteng cairan infusnya. Sungguh repot mengikuti kemauannya.

Aku ingat ia pernah berkata bahwa saat kau merasa takut, pejamkan hatimu dan kelak pagi akan membawamu kembali pulang. Dan keesokan paginya ia pun pergi. Tubuhnya lunglai di atas tempat tidur. Sama sekali tak ada beda saat ia sedang tidur. Menjelang tidurnya aku terus menggenggam tangannya sampai alat pacu jantung beberapa kali ditempelkan di atas dadanya yang makin terlihat bentuk tulang rusuknya. Ibunya bersimpuh di sisi seberang berwajahkan ketegaran. Malam hari sebelum pergi, ia memintaku untuk menuliskan sesuatu. Ia memintaku untuk di tulis dalam catatan yang tak pernah aku tahu di dalam laptopnya. Saat menyalakan laptopnya terlihat sebuah tulisan di layar desktop-nya. Disitu tertulis : Sahabatku yang baik, saat membaca tulisan ini aku mungkin tak ada lagi di sampingmu. Di dalam, kamu akan menemukan catatan-catatan kecilku. Tolong serahkan semua ke mama. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Terima kasih atas semua waktu yang kau relakan untukku. Aku sudah menemukan cinta. Mungkin kau mesti menemukannya cepat-cepat. Sampai jumpa lagi, semoga kamu selalu bahagia

Tulisan terakhirnya selalu tersimpan di dompetku. Arshi memintaku untuk membacakannya. Perlahan aku buka satu per satu lipatan selembar kertas yang masih berbentuk tulisan tanganku. Aku mulai membacakannya.

"Kadang aku merindukan wangi pagi yang menyejukkan, suara rumput bersentuhan, nyanyian burung gereja bersahutan, tebar bintang langit gelap berkilauan, dan senyum yang datang, yang pergi...", Perlahan air mata Arshi menetes turun dari ujung matanya yang agak sipit. Pipinya basah oleh air mata, hidungnya pun mulai memerah.

"...kadang aku memimpikan sebuah nafas panjang. Bukankah harapan selalu ada? Bukankah kita selalu bermimpi? Namun kerinduan hanyalah kerinduan. Entah dirasakan lagi atau hanya dikenang. Kelak tak akan ada lagi kerinduan untuknya. Hanya aku. Kerinduan untukku"
Di bawah lampu malam aku sembunyikan tangisanku di hati. Semakin lama hati ini sesak oleh kerinduan pada sahabat. Sampai tak kuat lagi aku bercerita, "Dia seperti saudaraku sendiri". Aku tersenyum melihatnya menangis. Senang rasanya bisa berbagi.

Sudah hampir tiga tahun sejak kepergian Cakra dan selama itu pula tak pernah kulewatkan untuk mengunjungi makamnya. Batu nisan bertuliskan namanya masih tegap berdiri, persis sepertinya walau terbaring lemah di rumah sakit. Potongan kertas yang menempel di bagian belakang masih banyak terlihat.

Salah satunya bertuliskan ”Terima Kasih, Cinta.” Kupikir Arian yang menempelnya. Sudah lama juga aku tak bertemu dengannya sejak resepsi.
Kertas kecil yang sudah kusiapkan dari rumah kutempelkan di bagian yang masih lowong. Kali ini bertuliskan ”Teman, aku telah menemukan cinta. Sesuatu yang dulu pernah kau rasakan.”
Di sebelah, Arshi menggenggam tanganku. Tak terasa perutnya sudah semakin membesar. Sambil membelai perutnya ia berbisik, "Tanpamu, tak bisa bahagia seperti ini. Kelak aku akan menamainya seperti namamu"

Bintaro, Kamar
3 April 2009

Wednesday, March 2, 2011

Catatan Kecil




Hari ini biru langit perlahan memudar tertutup awan. Sesekali gemuruh petir bersahutan. Besutan kilatnya mencabik-cabik langit ke segala arah. Hembusan angin timur menampar rambut hitam yang terurai menutupi wajahnya, basah karena air mata. Tak terdengar isak tangis walau sedikit. Hanya air mata yang terus menuruni pipinya, perlahan terjatuh berlinang memecah tanah merah tempatnya bersimpuh. Diketukkan tangan beberapa kali ke atas gundukan tanah merah dihadapannya. Tanah itu berjatuhan disela-sela jemari tangan yang semakin kuat meremasnya.

Rabu, 27 Februari
Seperti biasa aku menunggu tanpa hasil. Tapi, hari ini terasa cepat berlalu. Mungkin karena ada yang menemaniku walau hanya sejam. Tapi cukup menyenangkan bersamanya hari ini. Yah, walau tak semenyenangkan bertemu dia. Mudah-mudahan Gea tidak sadar aku sedang menunggu seseorang. Andai saja dia kenal dengannya. Paling tidak tau namanya. Ya ampun, sudah tiga minggu belum juga ku dapat namanya. Such a misterious girl! Apa aku yang misterius? Sudahlah, semoga besok lebih beruntung.

Jumat, 29 Februari
Ah, aku tak tau apa aku sanggup menjalani beberapa bulan ke depan. Wah, hari ini hari yang langka. Hari yang datang 4 tahun sekali. Tak aku sangka Teddy menyukainya! Tapi biarlah, paling tidak aku mempunyai 2 teman untuk menunggu. Aku bisa lihat dari matanya walau berkali-kali aku pancing dia untuk mengaku. Sampai malam ini, Teddy berkali-kali menelponku. Aku tahu dia ingin menanyakan sesuatu, sengaja aku pura-pura tidak tahu. Hehe. Maklumlah, seorang Teddy yang perfeksionis akhirnya mulai membuka hatinya. Aku turut senang untuknya. Mungkin aku harus membantunya. Sekarang sudah jam 11 malam tapi belum juga mengantuk. Oh ya, tugas-tugasku belum aku selesaikan. Rasanya 24 jam sehari tidak cukup buatku. Aku harus tidur sekarang.

Senin, 10 Maret
Long weekend kemarin benar-benar menyesakkan. Bahkan libur 3 hari belum cukup buatku.

Selasa, 11 Maret
Arian!!! Nama yang sempurna!!!hahaha...

Jumat, 14 Maret
Hari ini aku menemani Teddy ke toko buku. Membosankan. Ia terus menerus menanyakanku tentang judul skripsi yang ia tulis tapi matanya terus berhenti di salah satu pegawai toko itu. Anak ini benar-benar haus cinta. Hahaha. Aku turut senang untuknya. Sudah beberapa kali ia mengajakku ke toko buku ini. Akhir-akhir ini wajahnya sering kali mengkerut karena deadline skripsinya semakin dekat. Tak ada salahnya membantunya.

Sabtu, 15 Maret
Sebenarnya aku sudah terlalu mengantuk untuk menulis ini, tapi sudahlah. Toh hari ini harus aku ingat. Paling tidak ada orang yang tau nantinya. Well, keberuntungan rupanya masih akrab denganku. Cukup menyenangkan midninght dengan Arian. Walaupun nonton bareng anak-anak tapi aku senang. Aku tak bisa bayangkan jika mereka tau aku menyukainya. Tapi mulut ini hampir keceplosan, aku tak sengaja menanyakan kalung yang biasa ia kenakan di kampus. Aku benar-benar gugup. Semoga saja Arian tidak tahu aku memperhatikannya sejak lama. Lewat hari ini aku tahu banyak tentang hatinya. Jangan tanya soal luarnya, aku sudah hafal di luar kepala. Baju, celana, cara ia tersenyum, semuanya aku hafal! sepertinya aku benar-benar menyukainya. Ia orang yang supel. Sama seperti yang aku bayangkan. Senang sekali melihatnya tertawa.

Minggu, 16 Maret
Semalam ia memberiku no HP-nya, tapi aku masih takut meneleponnya. Mama membujukku untuk pergi ke Singapura. Ah, biarlah. Satu-satunya yang masih aku perduli adalah bagaimana caranya menguatkan hatiku untuk menelponnya.

Kamis, 27 Maret
Kemarin aku mencoba menelponnya tapi rasanya mulut ini tak mampu mengeluarkan kata, jadi ku matikan saja. Semoga ia tidak tahu. Sudah berminggu-minggu aku melewati hari tanpa melihatnya sedetik pun. Hanya Teddy dan teman-teman yang lain datang melihatku. Aku senang mereka masih mengingatku. Sebenarnya.....

Jumat, 28 Maret
The best Birthday party ever!! Dia datang semalam!! Ternyata Teddy sudah mengetahui sejak awal. Dia tahu semuanya. Aku menunggunya setiap hari, aku menyukainya. Teddy tau semua! Ia memberiku kejutan. Teddy membawanya ke sini untuk menjengukku. Aku senang sekali!

Senin, 1 April
Hari ini sudah larut. Suara dengkuran dari mulut Teddy disampingku membuatku terus terbangun. Sepertinya ia sudah menyelesaikan bab 3 skripsinya. Laptop-nya masih menyala di pangkuan. Kasihan, dia terlalu memaksakan. Besok aku akan menyuruhnya pulang. Beberapa miscall di HP sudah terlihat sesak tapi tak satu pun tertera nama Arian. Sepertinya aku merindukan suaranya. Andai saja Arian ada disini, aku rela untuk tidak memejamkan mata semalaman hanya untuk berbicara dengannya. Tapi itu mustahil, sekarang sudah jam 3 pagi dan sepertinya ia sedang tertidur lelap di tempat tidurnya. Dan sudah seharusnya aku tidur. Teddy tak juga berhenti mendengkur.

Jumat, 5 April
Teddy tampak muram hari ini. Setiap kali aku bertanya ia selalu mengalihkan pembicaranku. Mungkin ia belum mau bercerita, jadi malam ini aku mengajak Teddy berkeliling. Ia tampak ketakutan. Tapi bukan maksudku menakutinya. Aku hanya ingin berkeliling.

Jumat, 11 April
Aku masih disini. Wangi steril sudah memuakkan! Sudah lama aku tidak menulis lagi. Aku mendengar perbincangan mama dengan Dokter Toto.Aku sedih melihat mama menangis. Ingin sekali aku memeluknya agar ia tahu tidak ada yang perlu ia takutkan. Belum pernah aku merasakan sebulan yang penuh tawa, sebulan yang penuh makna, sebulan yang tak kan aku lupakan. Besok adalah hari penting. Lucunya tepat sebulan aku mengenalnya. Yah, Tuhan mempunyai jalan yang misteri bagi makhluknya. Mungkin ia tak pernah tahu betapa aku menyukainya, betapa kagumnya aku, betapa gugupnya aku, betapa aku lupa tentang diriku karenanya. Aku bahagia. Tuhan, tolong katakan aku menyukainya...

Sabtu, 12 April jam 08.15
Kadang aku merindukan wangi pagi yang menyejukkan, suara rumput bersentuhan, nyanyian burung gereja bersahutan, tebar bintang langit gelap berkilauan, dan senyum yang datang, yang pergi. Kadang aku memimpikan sebuah nafas panjang. Bukankah harapan selalu ada? Bukankah kita selalu bermimpi? Namun kerinduan hanyalah kerinduan. Entah dirasakan lagi atau hanya dikenang. Kelak tak akan ada lagi kerinduan untuknya. Hanya aku. Kerinduan untukku.

Perempuan itu masih duduk di sana. Air matanya masih berlinang. Tangannya tak berhenti memainkan liontin yang menggantung di lehernya. Di dalam pikirannya masih terlintas sebuah buku yang diberikan seorang perempuan setengah baya yang belum pernah ia temui. Ia menitipkan catatan itu sambil berbisik, "Kurasa aku telah menemukanmu, Arian". Pelukannya begitu erat. Arian beritu terkejut mendengar ceritanya. menceritakan bagaimana anaknya begitu menyukainya, diam-diam memperhatikannya, dan menyakinkannya bahwa penyakit yang dideritanya tak membuat hatinya surut. Arian membuat hidupnya lebih lama. Arian memberinya nafas tambahan bagi pendeknya waktu yang dia punya. Arian memberikan sisa nafasnya begitu mudah. Malam itu ia terbaring. Hanya ibu, sahabat dan sebuah catatan yang setia menemaninya sampai cerita terakhir. Buku yang kaya akan kisah namun miskin akan waktu. Tanpa disadari, semua cepat berlalu dengannya. Singkat namun sempurna. Sempurna dari kebahagian dan kesedihan

Terima kasih untuk cintamu yang begitu luas. Sedang aku tak begitu baik mengenal cinta. Tak sadar sedalam apa. Ataupun seluas apa. Terima kasih untuk semua rasa yang kau pendam. Betapapun dalamnya. Terima kasih atas cinta yang tak pernah aku tahu, hingga cintamu tak bisa menyentuh hatiku. Andai aku punya sepotong waktu untuk mengenalmu. Waktu untuk membiarkanmu menyentuh hatiku Semoga cintamu padaku bisa mengingatkanmu pada wangi pagi, tarian rumput di suatu sore, nyanyian burung gereja, malam berselimut bintang, hingga terus membelai rambutmu dikala kau bermimpi. Memeluk hatimu. Meluluhkan tawamu. Dan mengantarkanmu pulang. Terima kasih cinta.

Setitik demi titik embun yang hinggap di awan perlahan menetes ke bumi. Membasahi kertas yang tergeletak diatas sebuah kayu nisan. Luntur karena air. Menyatu dengan tanah merah.

Bintaro, Kamar
26 Maret 2009

Monday, February 28, 2011

Bila si Jeki Mati



Ada suatu masa semua akan berpamitan. Pulang ke tempat dimana surga dan neraka menjadi tujuan. Dan tak ada suatu kekurangan bagi mereka yang sudah menjadi belulang. Permintaan bisa jadi yang paling akhir. Segala susah silakan menyingkir. Demi sebuah mimpi, aku tak kan mangkir. Dari kehidupan kafir.

Jeki memang cuma pengamen pinggiran. Hidup mengandalkan recehan, kadang hanya dari pemberian. Jeki tak menetap. Langkahnya terus berjejak. Pagi berangkat, malam tergeletak. Dimana trotoar dia pun terlelap. Jeki terus menyanyi, walau tiada orang peduli. Kadang sedikit menari hanya terbayar caci dan maki. Hingga hujan turun membasahi jalanan. Sampai terik neraka hinggap di ujung kaki kapalan.

Jeki tetap mengamen. Berharap nanti menjadi pengantin. membatin kelak berdampingan dengan pacar di kampungnya, klaten. Gadis desa bernama Atin, yang sudah dipacarinya setahun kemarin. Atin menunggu Jeki. Walau kadang macan desa sudah baris mengantri. Mengharap dapat istri, sepeti Atin yang doyan mengaji. Gadis lain rupanya iri. Melihat Atin menjadi kembang melati. Tak sebuah terlihat kekurangannya. Kecuali keluarganya yang miskin tak ketara.

Jeki tak sadar melatinya dirundung masalah. Keluarganya yang tak punya harta membuat Atin gerah. Hingga dipaksakan kawin dengan hartawan, yang belum ketahuan simpanannya delapan. Si Jeki kasihan. Berjuang di kota bikin dia mabuk kepalang. Recehan kelak tak ada guna disimpan dalam celengan. Harapan tinggal harapan. Tapi Jeki belum juga tahu cerita sialan yang nanti jadi bumerang. Kasihan si Jeki malang.

Jeki akhirnya pulang. Atin dibayangkan menyambutnya pulang, dengan riang. Berbekal uang receh dalam celengan, pikirannya terus melayang. Pagi itu kampung masih sepi. Hanya kerbau ditengah lumpur terlihat ingin mandi. Kucing kampung berkejar-kejaran untuk puaskan berahi. Lalu di ketukkan pintu rumah Atin sambil berseru, “Atin, ini Jeki”. Beberapa ketukkan tak disahut. Hatinya mulai kalut, sedang tak seorangpun memberi tahu.

Kakek tua yang sering dipanggilnya mbah sedang mengaso di tengah sawah. dan bertanyalah ia, kemana seisi rumah. Mbah menunjuk sebuah rumah dengan sebatang bambu. Sebuah rumah berpagar biru jauh di depan sungai yang sudah keruh. Jeki tidak mengerti. disatroni rumah yang ditunjuk mbah tadi.

“Assalamu’alaikum”, sapanya sambil melirik di antara jeruji pagar. seorang berbaju kumal, keluar membungkuk tanpa sandal.
“Mas cari siapa?”, ia bertanya tanpa membalas sapa.
“Apa Atin ada?” Ia mempersilahkan Jeki masuk dan terduduk di teras depan sendirian.

Tak lama Atin keluar dengan daster bersulam. Wajahnya tersentak kaget Jeki duduk dihadapan. Jeki tak lebih kaget melihat Atin tak seperti yang dikenang. Air matanya menggelinang melihat Atin yang mati dalam pandang. Perutnya telah membesar, Jeki tak dapat berkoar. Ia sadar, Atin telah menusuk hatinya sampai dasar.

Tiada petir yang menyalak di pagi cerah selain di dalam hati Jeki. Hatinya panas sepanas api. Tanpa berkata lagi, Jeki keluar sembari berlari. Tak ingin dilihatnya sakit hati. Sedangkan Atin masih bediri, tak mampu ucapkan sepatah lagi. Atin diam terpaku melihat kekasih lamanya pergi. Beribu maaf, Jeki. Ini tak dapat kuhindari. Aku memang tak patut kau kasihi. Ampun, Jeki.

Jeki bersimpuh di teras Masjid dekat tempat wudhu. Ia tahu jika masuk ke dalam dengan pakaian lusuh orang sekitar akan mengeluh.

Semua aku lakukan dengan tulus. Tiada niat untuk berbelok pada jalan yang lurus. Tiada niat untuk membuat ibadahku pupus. Walau kini badanku sudah menjadi demikian kurus. Tuhan, aku hanya hambamu yang tiada sempurna. Kerjaannya hanya meminta. Karena sebenarnya aku tak punya apa-apa selain hati yang terus mendendam. Sudikah kiranya Kau sulam lubang dendam yang terlanjur kupendam?

Tengah Mei, Jeki berlalu di jalanan lapang. Hanya beberapa mobil berlalu lalang. Sedang warung di pinggir tutup seluas pandang. Hari itu mencekam. Jeki yang malang dengan hati yang masih kelam. Terus berjalan dengan sebuah ingatan. Ingatan di kampung yang membuatnya tak kembali lagi selama tahun berselang.

Kemudian kebisuan menghilang. Dua kubu yang berseberang saling berhadapan. Polisi dan mahasiwa terlibat pertempuran. Yang satu jatuh bergelimpang, lainnya berbaris memegang laras senapan. Jeki yang panik berlari ke segala arah. Gitar yang menemaninya menjadi bulan-bulanan amarah, pecah terbelah. sembilan sampai sepuluh pukulan telah hinggap di pelipisnya hingga keluar darah membanjiri seluruh tubuh. Tak jelas siapa yang menyuruh. Jeki tergeletak di tengah gemuruh. Letusan senjata berkali terdengar runtuh. Setengah sadar ia bangkit , lalu disambar lagi pukulan yang membuat perutnya melilit. Sudah ambruk masih juga kepala di antara sepatu polisi dan aspal dijepit. Jeki berteriak dan menjerit. Sampai tak sadar dan terbangun di rumah sakit.

Seorang perawat menemaninya siang malam, menyadari Jeki hanya anak jalanan tiada uang untuk membayar pengobatan. Senja menjelang Jeki pun siuman, perawat tetap melayaninya tenang. Dibujuknya untuk bicara, sekedar cerita. namun perawat dibuatnya membisu. Tak sebuah kata keluar dari mulut, tak sesendok pun masuk ke perut.

Perawat itu terus menghibur Jeki yang bernasib tragis, siang malam hanya menangis. Kesabaran si perawat belum lagi habis. sampai ketika, Jeki akhirnya membuka mulutnya berbicara. Si perawat senang tiada kepalang. Tak sia-sia ditunggunya sampai siuman dan diajaknya berbincang. Jeki berkisah tentang hidupnya yang serba susah. Belum lagi Atin yang berniat diajaknya nikah. Apa boleh buat, rupanya Tuhan mempunyai suatu niat yang tak bisa Jeki lihat.

Berminggu waktu telah menunggu, cerita Jeki pada si perawat membuatnya termangu. Tak mampu mengingkari bahwa senyatanya ia telah jatuh cinta. Cinta pada Jeki bukan pandangan pertama, bukan pula kedua. Cintanya tersembunyi jauh di hati. Dibiarkannya bersembunyi namun dicegahnya pergi. Jeki yang malang, kesehatannya bertambah malang. Berminggu-minggu ia bertahan, tubuhnya tak mampu melawan.

Sabtu malam, Jeki telah berpulang. Meninggalkan air mataku yang jatuh berlinang. Cintanya telah pergi, dalam waktu yang cepat berlari. Selamat tinggal, Jeki. Kekasih yang tak pernah kumiliki.

Pesan yang kutemukan bukan sembarang. Sebuah kertas bertulis nada sumbang. Kertas itu tak lagi putih, tak lagi bersih. Kutemukan di laci tempat ia terakhir ku pandang. Lalu kubacai dengan hati-hati dan perlahan.

Bila aku mati, aku tak ingin melati.
Tak ingin mawar terlebih kamboja
Dilupa pun tak jadi peduli
Toh Aku ditinggalnya mendurja

Bila aku mati, kubur pula kenangan suri
Tapi jangan harapan yang sisa
Karena boleh jadi akan berarti
Walau kau tak henti mencerca

Bila aku mati, aku tak ingin tangis
Bernyanyilah biar tiada nada
Aku bukan seorang pengemis
Sepotong waktu pun tak ku punya

Apa ubahnya bila aku mati?
Toh matiku tak merubah dunia jadi lain
Bahwasanya hidup tiada abadi
Dan tubuh berselimut seuntai kain

Bila aku mati, cukup adzankan pada telinga
Agar kuat jalanku pada-Nya
Bila aku mati, tak perlu kau beritakan dunia
Bahwa Jeki sudah tiada
Karena sungguh aku bahagia
Kamu tetap disini sampai aku terjaga.

Terima kasih Cinta,
Kau buat derita menjadi tiada rasa
Kau, Sang malaikat penjaga

Selamat tinggal, Cinta
Biar aku hanya punya sedikit waktu
Tiada setitik aku mengeluh
Karenamu, Cinta
Aku pergi dengan bahagia

Bintaro, Ruang TV
10 Maret 2009