Wednesday, July 20, 2011

Peron Satu



Semalaman di peron satu, kala kereta lelap dari peradaban. Besi-besi alas kaki bertahan hidup dalam selimut embun yang tak mampu menjadikannya karat. Mesin tua membisu tanpa terpal, begitu juga anak gerbongnya. Menunggu dicambuk oleh kilat buatan manusia. Digempur waktu. Melupakan sejenak riuh kaki mereka yang ke sana ke mari, naik turun, di peron satu.

Di loket tiga, tak ada bernyawa kecuali serangga. Mushola satu-satunya tempat masinis bernyawa tergolek dalam putaran mimpi.

Di pinggiran peron, Sang bocah terlentang tanpa alas. Tangannya membentang membuat siku pada ketiak. Bergumam sesekali. Dan dua. Dan lelap lagi. Sehelai bulu menyelimuti tubuh tapi cepat ditiup angin. Mengigil lagi. Ke arah langit pekat aku tanyakan: Kenapa, Tuhan? Ia tak menjawab.
Biarlah untuk sementara waktu, terlelap sebelum digusah masinis yang bangun kepagian.

Semalaman di peron satu, diselimuti hawa Jakarta. Dinaungi sisa asap tadi malam yang kalah dihisap pohon angsana. Langit belum juga menyala. Aku terjaga lama, menantinya berubah jadi jingga. Dan aku tertawa meregang nyawa. Menantang bocah agar tak jadi tua. Menantangnya jangan jadi tua! Tapi ia menolak. Menjadi tua adalah anugerah, ujarnya.

Aku coba tanyakan lagi dalam tunduk: Kenapa, Tuhan? Sang Bocah yang menjawab. Berceracau tak karuan. Tertawa tanpa suara. Mencibir seperti bibir bulan atas bintang-bintangnya. Demi langit, melelehkan embun dengan gemeritik gigi susu. Sang bocah berceracau tak karuan.

Menjadi dewasa berarti punya kuasa. Biar harus mencomot mangsa jadi tak bernyawa. Minimal sedikit gila. Tapi tidak gila, hanya ingin kuasa. Menjadi yang paling dikenang dunia. Tapi dalam dekade, tanpa sadar terjebak di antara tikus yang jelalatan adalah pilihannya sendiri. Lalu menjadi rajanya di kemudian hari. Raja para binatang, pemenang dunianya. Sang bocah berhenti bercanda. Lalu berhenti tertawa. Lalu berhenti menyapa. Lalu berhenti bernyawa.

Semalaman di peron satu, membuat hatiku terbelalak oleh kuasa Tuhan. Sang bocah sudah tak bernafas. Sebelum terang aku kembali lagi.
Tuhan, Engkau memang Maha Tahu. Itulah kenapa aku rela bersujud pada mereka yang lebih tamak dari binatang dan lebih suci dari kami. Sungguh aku bersujud pada-Mu.

Kepakan sayapku membawanya ketempat yang lebih baik dari yang mereka sebut surga sementara, Dunia. Padahal mereka belum paham seperti apa surga.

Bintaro, Ruang TV
18 Mei 2011