Wednesday, April 17, 2013

Peron Dua



Sepanjang lorong di peron dua, di ujung bimbang antara embun dan induknya, tak ada kehidupan kecuali satu. Benda hidup yang sebenarnya tak hidup, mengamati sisa nafas dengan wajah sinis. Mencari-cari peluang di kala salah seolah jadi benar.
Demi malam, ia tak beranjak dari peraduan. Aku pun tak berani beranjak. Hanya mengawasi kedua mata yang masih bergerak segala sudut, tak karuan. Sebentar naik, lalu turun, lalu menghilang, dan muncul lagi. Entah apa maunya.
Di seberang peron dua, aku lihat gelisah di ujung kerutan dahinya sampai embun pada daun cepat menetes. Terus mencari jawaban atas apa yang tak ia mengerti. Ia melarangku mendekat. "Jangan dulu", katanya. "Beri aku waktu sedikit". Aku turuti sementara maunya. Toh, langit masih pekat. Masinis masih bermanja pada kehidupan dalam tidurnya.

Sang bocah yang terkulai membuka matanya. Tak boleh lepas dari pengawasanku. Tak boleh!

Ia termangu melihat sang bocah komat-kamit, melompat kesana-kemari. Kedua tangannya membumbung tinggi meraih atap peron. Menyeringai memperlihatkan gigi susunya. Tertawa sambil berputar-putar. Lalu membidik seakan-akan sedang menopang sebuah senjata laras panjang. Sang bocah ditantang. Tapi ia melawan. Ditariknya tuas pemicu pada laras panjang, sehingga roboh keyakinan pada sosok di hadapannya.

Di seberang peron dua, aku tarik roh diatas salah satu dari tiga ubun sang bocah. "Aku mengerti sekarang", bisiknya. Dipeluknya sang bocah tak bernyawa. Sekilas hilang bersama sayapnya. Apa yang tak mereka ketahui, sudah diketahui-Nya.

Malam ini tugasku lebih berat dari biasanya. Aku tunggu malam jadi pagi. Sampai kereta berhenti lelap dari peradaban. Besi-besi alas kaki bertahan hidup dalam selimut embun yang tak mampu menjadikannya karat. Mesin tua berceloteh tanpa terpal, begitu juga anak gerbongnya. Mulai dicambuk oleh kilat buatan manusia. Digempur waktu. Melupakan sejenak riuh kaki mereka yang ke sana ke mari, naik turun, di seberang peron dua.