Friday, February 25, 2011

Kehilangan



Aku melangkah dengan ragu di trotoar jalan di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini langkahku memang selalu ragu. Aku naiki tangga penyeberangan dengan pikiran yang tak jelas menerawang. Seperti pikiran yang dikendalikan oleh kedua kaki. Mata tak lagi melihat dari bolanya, melainkan bagian luar punggung kaki yang dinamakan mata kaki. Otak tak lagi bekerja dengan baik, sehingga kiasan otak di dengkul boleh jadi tepat diarahkan padaku

Setelah aku kehilangan dia, seperti manusia pada umumnya, aku kehilangan arah. Klise. Sebenarnya arahku sudah jelas, hanya kemana arahnya yang belum aku temukan

Di depanku, seorang laki-laki dewasa berwajah datar sedang mendengarkan lagu dengan sepasang earphone di telinganya. Lagu yang pernah aku tau, diresapi begitu dalam. Ia sedang jatuh cinta. Lalu ia melepaskan earphone-nya dan setengah terpaku melihat gadis berdiri menunggu bus. Dalam hatinya ia menunjuk dan memberanikan diri untuk menegurnya. Sudah beberapa kali usahanya gagal. Tapi sekarang tidak boleh, begitu tekadnya. Aku tersenyum diam-diam.

Bus yang biasa aku tunggu belum datang. Mataku menerawang mengikuti arah pikiranku. Dan jatuh pada seorang bocah pengamen, mungkin umurnya baru 7 tahun, termangu di pinggir halte bus. Dalam pikirannya terus mengarah ke sebuah rumah berdinding triplek. Di dalamnya tidur seorang wanita tua dengan koyo yang menempel pada pinggir kening. Ia menggigil di dalam kain batik tipis. Sementara angin malam yang dingin tak kuasa dilawan menusuk seluruh persendiannya. Si bocah berlalu ke tengah jalan setelah dilihatnya lampu lalu-lintas berwarna merah. Kasihan, anak sekecil itu sudah bertarung dengan masalah yang seharusnya belum waktunya ia dapati diumur sekarang.
Semakin lama halte ini semakin banyak didatangi orang. Perempuan dengan blazer hitam terlihat tersenyum sendiri. Rupanya ia baru saja mendapat kenaikan gaji. Tak sabar untuk membayar dp mobil, sehingga ia tak harus bersusah mengantre bus. Lain lagi dengan pria disebelahnya. Pikirannya sudah mengarah ke sebuah kamar. Membayangkan tubuhnya berbaring setengah mati di atasnya. Ada juga perempuan muda berseragam SMU. Dalam perutnya terdapat sebuah nyawa. Jantungnya berdegup dalam tempo yang tak tentu. Pacarnya memang rela untuk bertanggung jawab, namun ia terlalu takut untuk berterus terang dengan ayahnya.

Ah, ada-ada saja masalah yang mereka hadapi. Masing-masing memang mempunyai porsi yang beragam. Tuhan memberikan sesuai kemampuan mereka. Sebelum diberi anugerah atau cobaan, Tuhan sudah menentukan dimana cerita itu berakhir. Beruntungnya laki-laki yang sedang jatuh cinta itu. Cintanya bersambut. Tapi tak begitu baik untuk lelaki di sebelahnya. Kakak iparnya yang bawel menyuruhnya membeli air galon yang sudah habis. Niatnya untuk cepat terlelap tertunda. Begitu juga dengan bocah pengamen. Sepulangnya nanti, ibunya sudah tak bernyawa. Berbeda pula dengan wanita itu. Sesampainya di rumah, mobil idamannya sudah terparkir di garasi rumahnya. Dengan erat ia peluk ayahnya yang sudah menunggu di teras. Sementara perempuan muda tak mesti khawatir lagi dengan ayahnya. Nyawa di perutnya dimatikan dengan paksa sesuai persetujuan pacarnya. Ia mengubur rahasia bersama janin di kebun kosong.
Lalu bus yang kutunggu akhirnya berhenti tepat dihadapanku. Beberapa orang bergantian naik dan turun. Salah satunya dengan tergesa, seorang wanita. Rambutnya melayang-layang mengikuti arah ia berlari. Aku ikuti dia sampai ke sebuah ruangan rumah sakit di belakang halte. Pikirannya nyaris sama dengan punyaku. Menerawang tak jelas, hanya mengikuti gerakan kedua kakinya. Nafasnya masih memburu saat menyebutkan sebuah nama pada suster jaga. Ia ditemani suster memasuki ruangan itu. Beberapa orang di dalam terlihat sudah menantinya. Wajah-wajah kesedihan. Pasangan mata yang bengkak. Pipi yang basah oleh air mata. Hidung yang memerah. Dan nafas yang terisak-isak.

Langkah perempuan itu semakin cepat. Sebutan Tuhan berkali-kali ia teriakan dalam hati. Terhenti juga ia di dalam kamar. Tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya berhenti sesaat. Air mulai menggenangi bagian kelopak bawah matanya. Sesaat tumpah bergantian jatuh ke pipinya, ke tangannya, ke lantai, ke seprai tempat tidur, dan ke wajah seseorang pria di balik selimut. Pikirannya tak lagi menerawang, tapi kembali lagi ke masa yang telah dilaluinya. Masa dimana ia merasakan cinta bersama pria itu. Lalu menyesal. Ia teriakan sebuah nama di telinga pria itu. Ia diam tak bergeming. Selamanya ia tak akan bangun, kataku dalam hati. Sang perempuan tak berhenti memanggil namanya. Nama yang sangat tidak asing di telingaku. Sebuah nama kecil yang biasa ibuku gunakan untuk memanggilku.

Jakarta, Transbintaro (Ratu plaza - Bintaro)
14 Februari 2011

2 comments:

  1. Sediiihhh.. :( semua orang memang mempunyai takdir sendiri2

    ReplyDelete
  2. sukaaaa..
    fotonya jg meaningfull...
    love it kak.....
    cciiiihhh :p

    ReplyDelete