Arshi. Nama yang bagus namun cukup aneh. Sama anehnya dengan pikiranku. Cerita ini terasa sangat singkat untuk disadari tapi cukup lama pula untuk dilupakan. Cerita klasik yang dimulai dari sebuah persimpangan jalan di ujung sebuah rumah kecil berpagar bambu. Rerumputan liar bertebaran di halaman depannya. Sepasang kursi dari rotan bersandar di tembok kecokelatan berteman dengan meja panjang yang menghiasi sudut sempit terasnya. Rumah yang sangat sederhana tapi nyaman. Ya, itulah rumahku.
Seperti biasa, aku berangkat kerja dengan sepasang earphone yang menyempil di kedua telingaku tanpa memperhatikan sekeliling. Pagi itu aku menunggu sebuah angkot putih yang sudah seperti supir pribadiku. Mulai dari orang batak sampai orang sunda aku hafal betul semuanya. Sudah sekitar 15 menit berlalu tanpa satupun yang melintas dihadapanku. Lagu Linkin Park, Leave Out All The Rest, telah ku ulang berkali-kali. Lagu ini mengingatkanku pada seorang sahabat. Ia tahu betul bahwa ajalnya semakin dekat namun semakin kuat pula ia berjuang. Entah dimana dia, aku mulai rindu dengan ceritanya.
Seorang perempuan yang sedari tadi tak kusadari menepuk pundakku sambil berkata sesuatu. Entah apa yang keluar dari mulutnya. Aku mencopot earphone dari telingaku. Ia berkata lagi, "Emang kamu engga tau, angkot demo hari ini", seraya tersenyum.
Gadis ini sebenarnya sering aku lihat.
"Tumben jam segini udah berangkat?",
”Iya, ngejar setoran nih"
"Arshi", ia menjulurkan tangannya.
Arshi nama yang tak pernah kudengar sedalam memoriku mengenal orang, pikirku. Kata orang, nama bisa jadi mencerminkan pribadi seseorang. Walaupun kenyataannya banyak penjahat memiliki nama di KTP-nya sama dengan nama seorang Nabi. Mungkin Arshi perempuan yang unik. Raut wajahnya menunjukkan padaku seorang perempuan yang masih duduk di bangku kuliah. Semoga saja ia tak begitu mengenalku. Sebenarnya aku sudah mengenalnya lama tapi baru kali ini aku tahu namanya. Ia seorang supervisor toko buku di depan kantorku. Hampir setiap jam makan siang aku selalu mampir untuk membaca, walaupun tak banyak yang aku beli. Namun sudah beberapa bulan ini aku tak sempat lagi ke sana padahal toko bukunya banyak menolongku pada saat kuliah dulu, bahkan tanpa buku-buku yang ku beli disana mungkin aku masih menganggur di rumah.
Setelah beberapa puluh menit, aku dan Arshi berjalan berbarengan sampai aku berhenti di hadapan gedung kantorku dan ia menyeberang menuju tempat kerjanya. Tak banyak kata yang keluar dari mulutku, sehingga suara motor bising lebih mendominasi percakapan kita. padahal banyak pertanyaan-pertanyaan yang sering kali muncul di hati tapi tak berhasil menjadi suara.
Akhirnya aku bisa duduk juga. Komputer dihadapanku belum kunyalakan. Secarik kertas menempel di monitornya. Mba Siska memberitahuku bahwa ada yang mencariku tapi tidak meninggalkan namanya. Ia terlihat rapi sekali hari ini. Mungkin Pak Agis, satu-satunya bos paling necis di kantor, mengajaknya rapat dengan klien. Jika aku menghadap ke ruangannya, wangi parfum langsung menempel sampai aku keluar ruangannya. Sampai jam makan siang aku masih berkutat di depan komputer. Ruangan di sini sudah mulai sepi. Seperti halnya sekolah pada saat jam istirahat, hanya beberapa orang yang sibuk membicarakan gosip artis terkini. Mataku mulai lelah. Tiba-tiba aku teringat gadis itu. Lalu aku pergi ke toko bukunya, lagi pula sudah lama aku tak berkunjung.
Suasananya masih seperti dulu. Bahkan wanginya pun seakan tak asing di hidungku. Siang ini ia tampak lebih sibuk dengan kasir barunya sedang aku sibuk memperhatikannya dari jauh. Sudah lama aku tak melakukan ini. Dulu, beberapa kali aku datang kesini hanya untuk melihatnya. Dari jauh senyumnya sangat manis. Masih seperti dulu.
Tak lama ia menyadari kehadiranku, ia berjalan menghampiri. Pertanyaan yang harusnya sudah keluar diperjalanan tadi akhirnya di mentahkan juga lewat mulutnya. Sudah lama ia tak melihatku di sini. Jawaban apa lagi yang sanggup memenuhi tanpa menghasilkan percakapan dua arah lagi selain sedang sibuk dikejar deadline. Aku bingung harus berkata apa, bukan tidak nyaman tapi takut salah bicara. Setelah memilih beribu pertanyaan di pikiran aku memilih satu dari yang terbaik, "Ehm..nanti pulang jam berapa?"
Ah, pertanyaan basi!
"Biasa kok", aku mengajaknya untuk pulang bareng.
"Jadi kamu ke sini mau ngajak pulang doang?"
"Oh, yaudah kalo mau minta nomer telpon kamu boleh?", aku tersenyum.
Semenjak kunjungan itu, aku dan Arshi sering berangkat dan pulang bersama. Ia cukup menyenangkan. Mudah sekali untuk membuatnya tersenyum. Aku baru tahu ia masih kuliah, bayangkan saja gadis semuda itu sudah menjadi supervisor. Luar biasa menurutku.
Suatu saat aku memberanikan diri mengajaknya makan malam. Malam itu ia sangat cantik. Begitu cantiknya sampai aku terus ingin berada di dekatnya. Sabit yang tepat mengintai di atas serasa dekat dengannya. Belum juga aku mengatakan sesuatu padanya, seorang perempuan menghampiri meja kami sambil tersenyum memanggil namaku. Tak mungkin untuk tidak mengenalinya walau wajahnya sudah banyak berubah. Badannya jauh lebih kurus. Wajahnya agak pucat dalam cahaya lampu. Aku tersentak kaget. Bagaimana mungkin perempuan ini datang lagi setelah sekian lama pergi dari hidupku secara tiba-tiba. Aku mengenalkannya pada Arshi. Dia pernah menjadi pacarku untuk sesaat, entah kenapa suatu hari ia menghilang. Sekarang ia berbicara padaku seolah-olah keadaan masih seperti dulu. Memang membutuhkan waktu yang lama untuk melupakannya.
Dia sering ke kantorku tapi aku tak pernah di tempat. Terang saja, akhir-akhir ini setiap jam makan siang aku selalu ke seberang menghabiskan waktu bersama Arshi. Dari membahas buku, film atau apalah yang menurutku sangat menarik. Rupanya pesan-pesan itu darinya. Dia tidak pernah memberitahu namanya kepada Mba Siska. Aku hanya mengangguk kecil berharap ia cepat pergi dari hadapanku.
"Ya udah, maaf ya kalau ganggu makan malamnya. Nice to know you, Arshi", doaku cepat terjawab. "Oiya, salam buat Cakra ya…", Aku ingin memberitahunya tapi ia segera berlalu begitu saja.
"Oh iya, aku lihat kamu ngga pernah bareng teman kamu lagi?", tanyanya memecah bisu. "yang sering menemani kamu ke toko buku dulu". Aku terdiam. Cakra yang ia tanyakan.
Aku menceritakan padanya mengenai Cakra, seorang sahabat. Hampir setahun kulalui hari tanpanya. Hidupnya memberikan sebuah arti bagi orang lain. Sejak ia pergi, aku tak mampu lagi tertawa lepas. Bahkan skripsiku terbengkalai.
"Namanya Cakra. Dia sudah meninggal", Aku mulai bercerita banyak tentang Cakra. Bagaimana ia berjuang diujung nafasnya. Bagaimana ia menyakinkanku bahwa dirinya tak pernah takut untuk pergi. Tekadnya sangat kuat hingga tertulis di buku-buku yang ia simpan untukku dan untuk seorang yang ia sayangi. Cakra tipikal orang yang keras namun senang sekali mengeluh, tapi tidak ke orang lain. Tepat seminggu sebelum ia pergi aku menemaninya berjalan menyusuri rumah sakit. Aku tak begitu mengerti maksudnya namun yang jelas perkataannya membuatku takut. Ia berjalan sambil kutenteng cairan infusnya. Sungguh repot mengikuti kemauannya.
Aku ingat ia pernah berkata bahwa saat kau merasa takut, pejamkan hatimu dan kelak pagi akan membawamu kembali pulang. Dan keesokan paginya ia pun pergi. Tubuhnya lunglai di atas tempat tidur. Sama sekali tak ada beda saat ia sedang tidur. Menjelang tidurnya aku terus menggenggam tangannya sampai alat pacu jantung beberapa kali ditempelkan di atas dadanya yang makin terlihat bentuk tulang rusuknya. Ibunya bersimpuh di sisi seberang berwajahkan ketegaran. Malam hari sebelum pergi, ia memintaku untuk menuliskan sesuatu. Ia memintaku untuk di tulis dalam catatan yang tak pernah aku tahu di dalam laptopnya. Saat menyalakan laptopnya terlihat sebuah tulisan di layar desktop-nya. Disitu tertulis : Sahabatku yang baik, saat membaca tulisan ini aku mungkin tak ada lagi di sampingmu. Di dalam, kamu akan menemukan catatan-catatan kecilku. Tolong serahkan semua ke mama. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Terima kasih atas semua waktu yang kau relakan untukku. Aku sudah menemukan cinta. Mungkin kau mesti menemukannya cepat-cepat. Sampai jumpa lagi, semoga kamu selalu bahagia
Tulisan terakhirnya selalu tersimpan di dompetku. Arshi memintaku untuk membacakannya. Perlahan aku buka satu per satu lipatan selembar kertas yang masih berbentuk tulisan tanganku. Aku mulai membacakannya.
"Kadang aku merindukan wangi pagi yang menyejukkan, suara rumput bersentuhan, nyanyian burung gereja bersahutan, tebar bintang langit gelap berkilauan, dan senyum yang datang, yang pergi...", Perlahan air mata Arshi menetes turun dari ujung matanya yang agak sipit. Pipinya basah oleh air mata, hidungnya pun mulai memerah.
"...kadang aku memimpikan sebuah nafas panjang. Bukankah harapan selalu ada? Bukankah kita selalu bermimpi? Namun kerinduan hanyalah kerinduan. Entah dirasakan lagi atau hanya dikenang. Kelak tak akan ada lagi kerinduan untuknya. Hanya aku. Kerinduan untukku"
Di bawah lampu malam aku sembunyikan tangisanku di hati. Semakin lama hati ini sesak oleh kerinduan pada sahabat. Sampai tak kuat lagi aku bercerita, "Dia seperti saudaraku sendiri". Aku tersenyum melihatnya menangis. Senang rasanya bisa berbagi.
Sudah hampir tiga tahun sejak kepergian Cakra dan selama itu pula tak pernah kulewatkan untuk mengunjungi makamnya. Batu nisan bertuliskan namanya masih tegap berdiri, persis sepertinya walau terbaring lemah di rumah sakit. Potongan kertas yang menempel di bagian belakang masih banyak terlihat.
Salah satunya bertuliskan ”Terima Kasih, Cinta.” Kupikir Arian yang menempelnya. Sudah lama juga aku tak bertemu dengannya sejak resepsi.
Kertas kecil yang sudah kusiapkan dari rumah kutempelkan di bagian yang masih lowong. Kali ini bertuliskan ”Teman, aku telah menemukan cinta. Sesuatu yang dulu pernah kau rasakan.”
Di sebelah, Arshi menggenggam tanganku. Tak terasa perutnya sudah semakin membesar. Sambil membelai perutnya ia berbisik, "Tanpamu, tak bisa bahagia seperti ini. Kelak aku akan menamainya seperti namamu"
Bintaro, Kamar
3 April 2009
No comments:
Post a Comment